October 30, 2010

Ada Pesta di Tengah Bencana

Pesta Blogger 2010 mengalami dilema, saat harus berpsata ria merayakan keberagaman. Antara bergembira atau berduka cita. Mengingat saudara kita di Mentawai, Wasior dan Merapi sedang menderita.

Akan tetapi PB 2010 sudah direncanakan jauh-jauh hari. Tak mungkin dibatalkan begitu saja. Karena menyangkut banyak pihak. Beberapa peserta mendadak membatalkan kehadirannya demi Merapi. Salut dah.

Pesta Blogger kali ini memang terasa aneh. Mau senang-senang tapi tertahan. Saya kurang semangat berangkat, sehingga datang telat. Mentang-mentang dah dapat tiket gratis dari Loenpia.net, santai banget. Sebelum berangkat harus setrika baju, ngeringin rambut, masuk-masukin buku yang mau dijual. Naik kopaja P 20 lama pula. Lewatlah opening ceremony.

Sampai di kawasan Epicentrum sempat bertemu jalan buntu. Untung tidak sendirian, tapi bersama Lina yang baru saja kenalan di Kopaja. Setelah telepon Hary, baru tahu tempatnya di mall merah Epicentrum Walk. Masuk dan clingak-clinguk cari booth Loenpia tapi gak nemu juga. Akhirnya saya lihat Didut, Yudi dan Sofyan.

Tidak ada oleh-oleh selain goodie bag keren. Soalnya saya jaga stand. Tidak ikut breakout session. Sempat mengikuti talk show tentang kematian ibu bersama Artika Sari Devi. Tapi tidak konsentrasi sehingga tak ada yang tersisa di memori otak :D. Sempat main ke booth Microsoft dan dapat pencerahan tentang windows live, software enam tujuh (kayaknya ini salah deh) untuk android.

Foto-foto tak kumpulin di http://www.facebook.com/album.php?id=1115147894&aid=2087623

September 28, 2010

Bisnis Kelapa Muda

Mudik lebaran cukup berkesan. Tapi justru kesan tak akan saya ceritakan di sini. Soalnya naskah tentang itu sudah dikirim ke indie publishing.

Sempat bantuin Ibu jual es kelapa muda. Alhamdulillah ramai pembeli. Cuman saya nggak bisa cepat bungkusnya. Makhlum baru belajar. Nggak bisa buka kelapa muda. Paling cuman ngerok (bahasa yg pas apa ya) daging kelapa muda.

Omzet penjualan kelapa muda juga meningkat berlipa-lipat. Mungkin faktor cuaca yang panas, jadi es degan laris manis. Dua kali Bapakku diwawancara wartawan. Pertama dari Jawa Pos dan yang kedua dari Kompas. Sebagai anaknya, saya turut bangga. Sayang foto artikel di Jawa Pos dihapus Bapakku. Nggak tahu maksudnya mau dipamerkan di sini hihi...

Biasanya pembeli berkurang saat hujan. Sebagai pengimbang, Ibu jual petis tangkar dan empek-empek Palembang. Biasanya orang kedinginan suka makan yang hangat-hangat kan. Alhamdulillah saya melihat sendiri, petis satu panci penuh habis sebelum sore hari. Sehingga Ibu musti bikin lagi.

Namun ada yang saya risaukan. Warung es degan kami masih jauh dari tempat standar warung. Alasnya masih tanah, atapnya seng seadanya (ditempel-tempel) pula. Begitu juga dengan dindingnya masih pakai papan ala kadarnya. Itupun numpang di halaman rumah tetangga yang di pinggir jalan. Bayar sewanya ringan, sesuai hasil harian. Pernah pernghasilan sehari sampai 600.000. Tapi pernah nggak sampai 100.000. Namanya juga rezeki ALLAH yang ngatur ya. Harapannya ada dermawan/investor/pengusaha yang mau bantu Ibu.

Kebutuhannya antara lain :
Pembelian tanah berukuran 2 x 2 m (Saya nggak tahu harganya)
Bahan bangunan seperti pasir, semen, batu bata, ubin, genteng dll
Kulkas (Karena kadang ada degan yang tersisa dititipkan ke tetangga)

Begitu pula dengan Bapak. Beliau sering kekurangan modal. Setiap mau ambil kelapa muda satu truk, hendaknya ada uang sekitar 5.000.000. Sedangkan Bapak tak pernah pegang uang segitu setiap harinya. Jadi selama ini hanya mengandalkan kebaikan pemasok degan saja. Beberapa kali timbul cekcok.

*cari-cari tombol upload gambar, gak nemu2 TT*

August 06, 2010

Diary Milad Sekolah Kehidupan_Belajar Sabar

Kalau Pak Sinang berpesan "jangan tengok ke belakang", saya justru ingin sekali lagi menengok ke belakang. Karena ada hal manis di belakang sana yang belum saya catat dan bagikan ke teman-teman. Ada banyak pelajaran, salah satunya belajar sabar.

Belajar Sabar part I
Setelah berhasil cabut dari kantor jam 15.00 WIB, saya siap-siap berangkat. Target keluar rumah pukul 15.30 ternyata meleset. Saya jalan setengah berlari menuju jalan besar. Bis 74 yang saya tunggu tak kunjung lewat sampai jam empat. Sampai di Blok M antri beli tiket busway. Tetap nekad naik busway meskipun Nihaw sudah wanti-wanti jangan naik busway. Seperti biasa antrian naik busway panjang banget. Udah gitu busway kosong melenggang berkali-kali dihadapan kami yang berdiri antri. Inilah pelajaran sabar dimulai. Pukul 16.30 barulah saya bisa naik busway. Padahal pesan Nihaw, maksimal pukul 17.30 harus sudah sampai Stasiun Kota. Halte demi halte terlewati. Pukul 17.28 busway berhenti lama sekali. Ternyata lampu merah menyala. Ada perasaan lega saat terlihat museum bank Mandiri. Tepat pukul 17.33 saya sampai di Stasiun Kota. Itu pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Stasiun Kota. Berjalan cepat-cepat mengikuti arus manusia menuju stasiun. Saya pun sampai di jalur delapan. Dan tidak ketinggalan kereta. Alhamdulillah...

Untuk sementara waktu kami duduk di tempat duduk yang kosong. Karena tidak kebagian tempat duduk meskipun Nihaw berjuang untuk mendapatkannya. Tahu kabar bahwa Pak Jonru dan Mas Epri, kita pindah ke gerbong satu. Duduk di kursi Pak Jonru dan Mas Epri hihi... Dulu saya berkali-kali niat bertemu Pak Jonru dan Mas Epri. Dan ternyata Allah mempertemukan kami dengan cara yang semanis ini di Stasiun Senen. Akhirnya dengan santai Pak Jonru berbagi biskuit dan sedikit ilmu fotografi. Begitu pula Mas Epri, berbagi pengalaman EO, ngobrolin tentang sastra. Alhamdulillah dapat ilmu gratis plus bisa foto bareng narsis :).

Belajar Sabar Part II
Entah siapa yang memesan tempat duduk dekat Pak Jonru, kami tidak tahu. Yang jelas sampai di Cirebon pun tidak ada orang yang mengusir kami. Alhamdulillah lagi jadi orang yang beruntung dapat tempat duduk. Belajar sabar dimulai lagi saat kita sampai di Pekalongan. Mendadak kereta berhenti lama sekali. Dari pukul 24.00 sampai kami keluar (menukar tiket) sekitar pukul 02.00. Mas Epri antri menukarkan tiket dengan uang cashback untuk kami (makasih Mas).

Ada satu keluarga (Ayah Ibu, anak dan dua orang cucu). Mereka memberi pelajaran berharga bagi kami. Seorang Ibu yang sabar menghadapi anaknya yang nangis karena tangannya terjepit. Tak keluar keluh kesah, apalagi amarah. Ditambah dengan kejadian rel kereta anjlok yang mengharuskan mereka membawa barang bawaan yang banyak. Uluran tangan dari kami yg ingin membantu ditolaknya dengan halus. Pelajaran yg saya petik "jangan merepotkan orang". Mereka pun bergabung dengan trio backpacker untuk melanjutkan perjalanan.

Kalau yang lain bangun dini hari untuk sholat malam. Kita justru menunggu bis jurusan Surabaya atau Semarang. Atas saran tukang becak, kami menuju pom bensin. Konon disitu ada bis Surabaya yang transit. Kami naik becak, menikmati semilir angin virgin. Tak ada bis yang mau berhenti. Sampai ada bis mini yang berhenti di hadapan kami. Setelah Mas Epri nego harga, kami pun naik. Selang beberapa jam, bis berhenti. Bannya kempes. Belajar sabar lagi. Kami dioper ke bis lain. Sudah penuh, sehingga kami harus berdiri. Saya kasihan lihat nenek yang gendong cucunya, tapi tak ada yang mau memberinya tempat duduk. Saya lega setelah melihat nenek itu duduk. Saya dan Nihaw baru duduk saat sampai di Kalibanteng.

Jadi sadar betul bahwa kata-kata adalah do'a. Sebelumnya saya SMS Nihaw "...Gmn kalo naik kreta jur SMG aja. Ntar kita naik bis dari terminal Terboyo"
Meskipun kita tetap naik KA Gumarang, tapi tetap ngeteng juga.

Sampai di terminal Terboyo - Semarang, kami langsung naik bis yang siap berangkat. Tak ada pilihan lain selain bis ekonomi non AC. Kalaupun mau pilih yang ber-AC harus nunggu lebih lama lagi. Sebenarnya kasihan juga lihat anak-anak itu kepanasan, sampai akhirnya menangis di perjalanan. Si Ibu pun masih sabar menggendong anaknya, menghentikan tangisnya. Ada perasaan lega setelah keluarga itu turun di Stasiun Pasar Turi. Minimal amanah Mas Epri dan teman SMU nya telah kami laksanakan.

Sampai di Medaeng, kami dijemput Pak Saiful (sopir), Pak Diaz, Mbak Diah dan suaminya.
"Dari sini masih berapa jam lagi, Pak?" Celetuk Kang Dani. Pertanyaanku terwakilkan :)
"Kurang lebih tiga jam lah," kalau nggak salah itu jawaban Pak Diaz.
Makhlum pas di mobil itu, mendadak saya nggak konek dengan obrolan. Ada sesuatu yang mengganjal dan rasa nyeri yang tak tahan.

Memasuki kawasan Pacet, kami girang sekali. Selain karena sudah makan siang menjelang malam, ada hamparan lukisan Allah yang indah sekali. Sampai di Grand Hotel Trawas, kami salah jalan. Harusnya lurus, malah belok kiri. Tanya satpam malah salah jalan. Selain jalan terjal, juga buntu karena pagarnya ditutup. Akhirnya Pak Saiful menyetir mundur, karena tak jalan sempit. Seperti petualangan di negeri fantasi, saat mobil mundur ada suara anjing menggonggong. Setelah telepon Pak Suhadi, barulah sadar bahwa kita salah jalan. Pak Saiful berbalik arah menuju pasar buah. Sampailah kita di Newstart Trawas. Alhamdulillah...

Disambut senyuman Pak Sinang, teman-teman ESKA. Dijamu makanan enak plus canda tawa Mbak Aci, Mbak Anty, Kang Hadian, Kang Dani. Kami lupa kalau capek. Bahkan kami ikuti acara api unggun sampai penghujung (pukul 01.00). Karena sayang sekali kalau melewatkan curhatan Ibu Sinang (Panggil saja Bu Nung).

Sampai akhirnya tubuhku berhak mendapatkan haknya menikmati kasur empuk Newstart. Inilah hadiah dari sabar.

Belajar Sabar Part III
Kali ini cuman sabar menunggu pembagian doorprize hehe...
Keren lho doorprize nya bisa merata. Saya dapat tasbih cantik plus buku Jakarta Underkompor. Pas banget karena sudah lama ngincer buku itu.
Bukan sabar itu maksudku. Tapi sabar saat melepaskan tali temali yang mengikat tangan kami kelompok Si Berat :D. Jadi pengin yel yel lagi ...
Nggak punya yel yel oh asyiknya
Nggak punya yel yel oh indahnya

(Cinta satu malam mode on)

Sabar bagi Kang Hadian dan Kang Dani yang mau pasrah didandani jadi mummy. Disuruh ambil bola telur. Gaya mereka gokil abis. Saya tertawa sampai keluar air mata.
Sabar saat disuruh bawa semangka pake kepala dari makam pendiri Newstart sampai hotel.

Dari outbound inilah terasa sekali semangat, kebersamaan dan cinta anak-anak SK.

Saya terharu saat dengar Mbak Anty bilang dengan lantang " I lop u pull", saat Mbak Ugik bilang Love it, saat April bilang "karena saya merasa memiliki SK". Sementara saya justru karena malu jadi mau bantu.

Belajar Sabar part IV
Perjalanan pulang Pati juga butuh kesabaran. Bis berinisial 'W' terlambat sampai di terminal Pati. Sabar bagi Bapakku yang telah menunggu dari pukul 18.30 sampai 21.00 WIB. Dan saya baru sampai terminal Pati sekitar pukul sepuluh lebih. Terminal sepi. Bapakku sudah pulang. HPku lowbat, wartel tutup. Akhirnya saya terima tawaran tukang ojek. Meskipun tidak bawa helm untukku. Tukang ojek itu juga sabar menunggu saya mau dianter pulang. Dibujuk, dirayu biar percaya. Sampai di rumah Ibuku malah ingin nangis :(.

Bonus sabar : segelas cinta dari Bunda, sepiring rindu yang terobati plus segelas es degan ala Pati plus bebek goreng plus empek2 Palembang plus uang saku dari Bapak :).

Begitulah cara Allah menyuruh kita belajar sabar.
Kalau Nihaw bilang hikmah dari perjalanan itu adalah dia jadi tahu Semarang.
Kalau saya jadi bisa upgrade kesabaran.

*cari2 tombol upload gambar kok ga ada ya. Terpaksa gak pake foto neh.