February 05, 2010

Mendung di Pulogadung

Pernah saya kirim ke milis, baru sekarang sempat posting. Moga bermanfa’at.

Mengenang hari Jum’at, 4 Desember 2009. Hujan deras mengguyur Jakarta, air di Jalan Arteri menggenang semata kaki. Aku merasa beruntung waktu itu, karena dapat tumpangan mobil sampai UKI. Meski sebelumnya basah kuyup, karena hujan turun saat masih di jalan menuju kantor lama. Rencana awal aku mau ke Rawamangun, karena disana masih ada bis jurusan Pati hingga jam tujuh. Tapi sampai tubuhku menggigil berdiri sejam di depan UKI, tak satupun bis jurusan Rawamangun yang lewat. Kuurungkan naik ojek, karena tidak tahu jalan menuju Rawamangun. Keputusan terakhir aku naik bis jurusan Pulogadung. Agak sedikit nekat memang. Tapi keputusan itu kuanggap terbaik dari pada terlantar di Stasiun Gambir sendirian. Mengingat ada teman yang mungkin bisa diandalkan untuk mencari bis.

Seperti biasa, sampai di Pulogadung aku diserbu Calo.

“Mau kemana, Neng?”

“Ke Mushola, Pak.”

“Ya, maksudnya tujuan kemana?”

“Ya mau ke mushola dulu.”

“Sudah tahu letak mushola dimana?”

Aku mengangguk, sedikit jengkel dan berjalan cepat-cepat. Sampai di Mushola, mandi bebek, ganti kostum mudik lalu sholat.

“Bis jurusan Pati masih ada nggak, Pak?” Sambil ambil tas aku iseng tanya.

”Waduh, jam segini mah sudah habis. Kalau mau naik bis, cari jurusan Pekalongan saja. Sendirian ya?” Lirik jam di HP, sudah jam sembilan.

“Iya Pak, bukannya keberangkatan bis disini sampai jam 23.00.”

“Iya, tapi tidak untuk bis jurusan Pati, jam segini tinggal bis jurusan Pemalang, Pekalongan. Bis Pekalongan paling 45.000. Kalau ditanya calo bilang aja mau naik busway. Bohong untuk kebaikan kan nggak pa pa, Neng.”

“Pamit dulu, Pak. Makasih.”

“Sama-sama, hati-hati di jalan.”

Dari mushola beli pulsa dulu. Voucher pulsa kusimpan dulu, menunggu sampai di tempat yang lebih nyaman. Aku berjalan pasti, seolah-olah sudah terbiasa jalan di terminal Pulogadung. Sampai akhirnya Si Beringas itu datang menghampiri. Melihatku bawa tas besar, dianggap mangsa yang siap disantap.

“Mau kemana, Neng?”

“Rumah teman, Pak.”

“Jurusan mana?” sedikit memaksa dengan mengulang-ulang pertanyaan.

“Pekalongan.” Jawabku asal.

E…e…tas tanganku langsung direbut. Kutahan sekuat tenaga tapi tenaga cewek mungil tentulah kalah dengan tenaga Si Beringas. Kulihat tasku dibawa lari. Ada beberapa orang yang teriak “Hoi, mau dibawa kemana itu?” Mereka hanya berteriak, tak satupun ada yang menolongku. Aku susah payah mengejar si Beringas itu. Beberapa orang di shelter busway memandangi, iba.

Sampailah di loket bis yang dimaksud calo beringas tadi.

“Jurusan mana, Neng?”

“Pekalongan, berapa?”

“Maunya berapa?” Lho kok balik nanya.

“Biasanya lima puluh ribu kan?”

“Ya udah lima puluh ribu.”

Aku ambil uang lima puluh ribu, tapi tiket tidak kunjung diberikan. Sementara orang disebelahku menggertak “Cirebon aja enam puluh ribu, kamu mau ke Pekalongan minta lima puluh ribu!”

Agak keder juga denger gertakan orang itu. “Firasat buruk nih.” Batinku.

Kulihat tiket atas namaku ditulis seratus ribu rupiah. Aku mulai nggak suka dengan perlakuan mereka yang nggak konsisten, memaksa pula. Kuambil lagi uang lima puluh ribu. Eh…dikira aku tangan panjang. Ingin kabur dan mengikhlaskan uang lima puluh ribu, tapi urung. Mengingat uangku pas-pasan. Dengan berat hati kutambahi lima puluh ribu.

Si Beringas teriak “Ayolah Mbak, lama bener sih. Bisnya dah mau berangkat nih.” Akupun segera naik bis setelah menerima tiket. Mengelus dada “Ah…dasar pembohong.” Bisnya tak kunjung berangkat, bener-bener konspirasi tingkat tinggi. Aku mengisi pulsa agar bisa membalas SMS dari Bapak dan teman kantor. Pertanyaan kedua SMSnya sama “Sudah dapat bis?“ Membaca SMS mereka, membuat mendung dikantung mata menggantung di Pulogadung, lalu hujan air mata tak terkendali. “Sudah dapat bis, Pak. Do’akan selamat sampai tujuan.” Lalu aku kirim SMS ke temen yang tinggal tak jauh dari Pulogadung. Terlambat. Harusnya sebelum bertemu Si Beringas itu, aku minta bantuan nyari bis. “Tips survive di Pulogadung tuh pada atau sok tahu.” Kata temanku.

“Jadi kena berapa?”

“Seratus ribu.”

“Sampai Semarang.”

“Pekalongan.”

“Bwahaha…biasanya cuman 40.000 dah dapat bis AC.”

Orang sudah sesenggukan nahan tangis malah di ketawain hiks..

Bis mulai menjauh dari Pulogadung. Tapi berhenti lagi, lama. Lalu penumpang bis RZ disuruh pindah bis. Aku beranjak pindah, tapi salah satu penumpang melarang.

“Jangan mau pindah, Mbak. Udah duduk aja lagi.”

“Ayolah, Bapak Ibu pindah bis. Bis yang ini nggak siap jalan, yang siap jalan bis satunya lagi.”

“Biarin aja. Kalo nggak siap kenapa diisi penumpang? Kalo bis ini nggak jalan, ya minta uang kita kembali. Enak aja main-mainin penumpang.” Celetuk salah satu penumpang yang mulai emosi.

“Ayolah pindah, seperti ini di Pulogadung mah dah biasa.” Kata orang dari bis satunya.

Hah?? Kemungkaran seperti itu dibilang biasa. Astaghfirullah. Sudah tiga orang cewek yang nangis karena teraniaya, salah satunya aku. Dua orang cewek disuruh turun untuk bayar empat puluh ribu lagi buat tambahan. Penumpang yang lain juga menggerutu nggak ikhlas, karena uang dan kondisi bis tidak sebanding. Aku mulai tenang saat tahu ada penumpang yang bayar lebih mahal untuk tujuan yang sama. Ada yang bayar Rp. 120.000, bahkan ada yang bayar Rp. 200.000 dengan janji sampai ke tujuan jam 3 dini hari. Kupikir bis itu jurusan Pekalongan jadi aku bilang aja jurusan Pekalongan. Setelah tahu bis jurusan Solo, tak segan-segan aku ganti tujuan, dari Pekalongan ke Semarang. Sedikit licik memang. Sempat merasa bersalah juga. Tapi seratus ribu memang seharusnya sampai Semarang. Apalagi bis ecek-ecek gitu, joknya sudah rusak, AC mati, ditambah asap rokok, sampah dimana-mana (jelas ini ulah penumpang yang jengkel atau memang tak tahu diri). Untung aku tidak muntah darat.

Matahari mulai meninggi. Bapak Ibu sudah bertanya kabar “Tekan ngendi, Nduk?”

“Alas roban”

“Lho kok nembe tekan kono, numpak bis apa?”

“Bis elek tur ecek-ecek.”

“Yo wis, gak apa-apa. Sing penting selamet tekan omah.”

Ada satu penumpang yang bernasib lebih malang. Ia sudah keluarkan uang dua ratus lima puluh ribu rupiah. Mabuk darat lagi. Tiba-tiba aku merasakan kasih sayang Allah, perlindungannya senantiasa terasa saat aku berjalan sendirian. Belakangan aku dengar alasannya mengapa sampai memberi harga tiket seenaknya sendiri. Karena kejar target setoran. Misalkan setoran satu juta, dapat uang dua atau tiga juta. Kelebihannya masuk kantong pribadi dan untuk memberi makan para calo. Hidup di Jakarta memang susah, kata mereka “Cari yang haram saja susah, apalagi cari uang yang halal.”

Harusnya kita buka Al Qur’an, lalu baca surat An Nisa ayat 29 sebagai pengingat.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu.”

PS:

· Hati-hati di Pulogadung, bawa tas yang tidak mudah direbut calo (ex. Tas punggung).

· Jika bohong diperlukan, berbohonglah yang cerdas.

· Kalau anda cewek hendaknya jangan jalan sendirian malam-malam (kecuali terpaksa seperti saya hehe…)

February 03, 2010

Hilang

Gilang sepatu gilang
Nasib malang HP hilang
Uang, KTP, ATM, kunci pun melayang

Aku tak mau lagi merasa memiliki
Karena tak ingin merasa kehilangan lagi
Semoga ini ujian yang terakhir kali

Januari kosong, Februari update dong!
Banyak ide tapi kok blognya kosong melompong
Isi dong,dang ding dong.